Kondisi Industri Komponen Otomotif Nasional yang Tertekan
Industri komponen otomotif di Indonesia kini menghadapi tantangan berat. Kondisi ini semakin memburuk akibat lonjakan impor mobil listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) dalam bentuk utuh atau completely built up (CBU). Kebijakan impor BEV ini menambah tekanan terhadap industri lokal, yang sebelumnya sudah mengalami penurunan penjualan kendaraan.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyampaikan bahwa impor BEV dalam bentuk utuh memberi dampak signifikan terhadap industri komponen otomotif. Dengan harga yang lebih murah, mobil impor bersaing ketat dengan produk dalam negeri. Padahal, mobil konvensional memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang sangat tinggi, bahkan mencapai 80%-90%, sehingga mampu mendukung industri manufaktur nasional.
"Penjualan mobil dengan TKDN tinggi sedang tertekan dan semakin turun. Sementara mobil dengan TKDN rendah justru meningkat volumenya. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan industri dalam negeri," ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri.
Dampak pada Pasokan dan Permintaan Komponen
Kondisi ini juga memengaruhi keseimbangan antara pasokan dan permintaan komponen otomotif. Banyak pelaku industri khawatir bahwa tidak semua pabrikan komponen memiliki kemampuan untuk beralih ke produksi komponen mobil BEV. Perubahan teknologi ini membutuhkan investasi besar dan perencanaan matang.
"Transisi ke komponen mobil BEV tidak mudah karena melibatkan teknologi baru dan persaingan harga yang ketat," tambah Kukuh.
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Rachmad Basuki, mengatakan bahwa industri komponen otomotif terkena dampak ganda. Penurunan penjualan mobil sejak 2023, ditambah dengan maraknya impor BEV dan truk, membuat pasokan komponen berkurang drastis. Dari data yang diperoleh, pasokan komponen ke pabrik mobil telah menyusut sekitar 38%.
Meski sebagian pelaku industri masih bertahan melalui pasar ekspor, kondisi ini tidak merata. Perusahaan patungan dengan korporasi global lebih stabil, sementara perusahaan lokal atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menghadapi kesulitan besar.
Penutupan Pabrik dan Pengurangan Karyawan
Beberapa perusahaan komponen bahkan harus menutup operasinya sejak 2023. Di beberapa perusahaan lain, pengurangan karyawan terjadi dengan skala bervariasi, mulai dari 3% hingga 23%. Bahkan, ada laporan tentang pengurangan karyawan hingga 50% di sejumlah perusahaan.
"Semua ini menunjukkan betapa beratnya kondisi industri komponen saat ini. Mudah-mudahan industri bisa tetap survive," kata Rachmad.
Kemampuan Industri Komponen dalam Transisi
Meski begitu, Rachmad menilai bahwa industri komponen Indonesia sebenarnya siap melakukan transisi ke produksi komponen mobil berbasis listrik. Namun, keberhasilan transisi ini sangat bergantung pada strategi pabrikan mobil.
"Jika ada pesanan, kami siap memproduksi sesuai kaidah bisnis otomotif, yaitu QCDSM: Quality, Cost, Delivery, Service & Management," tegas Rachmad.
Contoh transisi yang sudah dilakukan adalah dalam produksi mobil Hybrid Electric Vehicle (HEV). Meskipun HEV dan BEV memiliki perbedaan kapasitas, secara umum komponen seperti baterai, Power Control Unit (PCU), dan motor listrik sama. Sejumlah perusahaan juga sedang mempersiapkan infrastruktur seperti charging station.
Peran Pemerintah dalam Regulasi
Rachmad menegaskan bahwa pemerintah perlu memperhatikan dampak impor BEV terhadap industri lokal. Karena industri komponen bergantung pada pemenuhan TKDN dari pabrikan otomotif.
Ia juga meminta pemerintah agar tetap konsisten dalam menjalankan regulasi. Misalnya, regulasi mengenai insentif impor BEV yang diatur dalam Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023, juncto Nomor 1 Tahun 2024.
Dalam regulasi tersebut, pabrikan yang ingin mengimpor BEV dalam bentuk utuh harus memenuhi syarat bank garansi dan komitmen investasi. Setiap satu unit BEV yang diimpor, pabrikan harus memproduksi satu unit di dalam negeri dengan tipe dan jenis yang sama. Batas waktu program insentif akan berakhir pada 31 Desember 2025, lalu pada 2026-2027 pabrikan wajib memenuhi target TKDN bertahap.
Kukuh menegaskan pentingnya kepastian hukum dalam regulasi ini. Ia menilai bahwa ketidakpastian dapat mengganggu pelaku industri yang telah berinvestasi di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada kredibilitas Indonesia di mata investor.

Posting Komentar